Kamis, 06 November 2014

KEPEMIMPINAN




LIMA SIFAT SERTA KEWAJIBAN SEORANG PEMIMPIN UNTUK MENCIPTAKAN PEMIMPIN-PEMIMPIN BARU
Oleh: 
Adi Winarno

I.  Pendahuluan
Masyarakat yang menunggu datangnya angin segar pembawa kesejukan dengan membawakan hasil yang lebih baik untuk kelangsungan hidup serta kesejateraan. Tampaknya yang lama dan tradisional dalam jaman kali yuga ini (Modernisasi dan Globalisasi) masih mempunyai arti paradigma nilai konstektual. Sebaliknya, apa yang tradisional akan bernilai sendiri dalam kebaikan, sedang yang berbau modern belum tentu bernilai mulia, bila nilai modern itu sudah tidak bertemu lagi dengan nilai kepribadian bangsanya.
Keinginan untuk mewujudkan visi dan misi menuju kesejateraan akan terasa amat sulit bagi pemimpin yang  menghilangkan sifat-sifat mulia dari leluhurnya. Maka dari itu sifat leluhur harus terus ada karena pemimpin adalah generasi penerus dari leluhurnya.serta kewajiban yang harus di laksanakan. Dari permasalahan tersebut sehingga saya dapat mengambil judul. ”Lima Sifat Serta Kewajiban Seorang Pemimpin Untuk Menciptakan Pemimpin- Pemimpin Baru”.

1.      Sifat yang bagaimana yang harus di miliki oleh seorang pemimpin menurut Hindu?
2.      Konsep apa yang harus di terapkan untuk menjadi seorang pemimpin yang baik untuk menuju kesejateraa bagi semua atau Lokasamgraha?
II. Pembahasan          
Seorang pemimpin harus mampu mempersatukan lima sifat utama dari leluhurnya yang terdahulu dan tradisional yaitu sifat dari Panca Pandawa (Yudhistira, Bimasena, Arjuna, Nakula, Sahadewa). Karena sifat dari Panca Pandawa inilah yang mampu membuat seorang pemimpin menjadi orang yang di segani oleh masyarakat serta berpedoman pada Vasudaiwa Kutumbakam (semua makhluk adalah saudara). 
 Untuk menjadi pemimpin yang baik harus berpedoman pada lima sifat tersebut yakni:
1)      Yudhistira (Aji) seorang pemimpin harus mempunyai sebuah ilmu pengetahuan yang suci sebagai kekuatan Dharma atau kebajikan (dengan symbol Ibu jari)
2)      Bimasena (Giri) seorang pemimpin haruslah kuat iman, teguh dalam kebenaran  sabar dan kuat dari ancaman apapun bagaian sebuah gunung yang tertiup angin masih kokoh dan tetap tegak (dengan Symbol jari telunjuk).
3)      Arjuna (Jaya) seorang pemimpin itu Harus menang melawan musuh-musuhnya terutama musuh yang ada dalam dirinya yaitu sadripu (dengan symbol jari tengah)
4)      Nakula (manga) seorang pemimpin harus tanggap dalam menghadapi kritik, cemoohan dan sejenisnya, tidak emosi dan tahu diri dalam menanggapinya (dengan symbol jari manis)
5)      Sahadewa (Priyamada) seorang pemimpin harus bisa membawa kebahagiaan, ketentraman, dan kesejateraan serta mengayomi demi terciptanya kedamaian batin bagi siapa saja dan masyarakat (dengan symbol jari kelinking).
Inilah lima sifat yang harus di ketahui, di pahami, serta di aplikasikan oleh seorang pemimpin kedalam masyarakat untuk mewujudkan cita-cita menuju kesejateraan baik pangan, sandang dan papan terpenuhi dengan baik oleh masyarakat seperti halnya dalam Canakya Nitisastra, XII.I8 yang berbunyi:

Dharmam dhanam ca dhanyanca, guror vacanam asudham
Sugrita ca kartavyam, anyatha tu jivati

Maksudnya adalah:
bahwa kalau ingin hidup sejaterah harus melindungi dan memelihara agama yang di anut (Dharma), kekayaan (dhana), bahan makanan (dhanyan), kata bijak seorang guru (guru vacana) dan kesehatan (ausadha) inilah yang harus di jaga kalau ingin sejaterah, kalau tidak di jaga maka jangan pernah mengharapkan kesejateraan

Pemimpin juga harus siap menjadi Tuntunan, Tatanan dan Totonan untuk memotivasi, mendorong, mempengaruhi, mengarahkan orang lain untuk bekerjasama guna mencapai tujuan masyarakat secara sukarela, mengutamakan tujuan dari seorang pemimpin adalah untuk menciptakan pemimpin-pemimpin baru untuk melanjutkan kepemimpinanya sebagai generasi penerus untuk menjaga keseimbangan dengan mendalami lima kewajiban seorang raja oleh Harjuna sastrabahu (Panca Sthiti Dharmaning Prabhu)
1)      Tut wuri handayani, pemimpin harus senantiasa mampu berada di bawah untuk  memberikan dorongan kepada bawahanya serta masyarakatnya, supaya mampu menciptakan pemimpin baru seperti yang di harapkan.
2)      Ing madya mangun karso, di tengah-tengah masyarakat, seorang pemimpin harus ikut serta dan mengambil keputusan secara musyawarah serta mufakat serta mengutamakan kepemimpinanya diatas kepentingan pribadi.
3)      Ing ngarso sung tulodo, seorang pemimpin sebagai orang yang terdepan dan terpandang senantiasa memberikan contoh panutan yang baik dan benar sehingga dapat di jadikan contah bagi masyarakat.
4)      Sakti tanpo Aji, seorang pemimpin tidaklah selalu mengutamakan kekuatan dan kekuasaan di dalam mengalahkan musuh-musunya namun berusaha mengutamakan pendekatan , pemeliharaan dan komunikasi (diplomasi) sehingga dapat menyadarkan dan di segani oleh lawanya.
5)      Nglurug tanpo bala, pemimpin adalah seorang ksatriya sejati, yang senantiasa bersedia secara ikhlas berada di depan dalam beryadnya, baik waktu, tenaga,  materi, pikiran, dan bahkan jiwanya sekalipun, untuk mencapai kesejateraan, keadilan, kemakmuran, dan kelangsungan hidup masyarakat.
Dalam Bhisma Parwa (jagathitha 23) yaitu nasehat Bhagavan Bhisma kepada Prabhu Yudhistira.  yang mempunyai arti:
Demikianlah Dharma yang sempurna engkau kerjakan sebagai raja untuk melindungi Negara, mengapa demikian, karena kasih sayangmu pada setiap makhluk itulah Dharma namanya, penampilan kasih sayang itulah yang harus kamu kerjakan untuk melindungi Negara, demikianlah seharusnya seorang raja bertingkah laku.
Dari pemahan tersebut sudah jelas sekali bahwa seorang pemimpin harus mengutamakan kepentingan masyarakat seperti semboyan dan prinsip hidup seorang pemimpin Besar dan Proklamator Bung Karno :”Aku Mati untuk Negara dan Hidup bersama rakyat”. Sudah jelas dari semboyan tersebut pemimpin harus mengutamakan kepentingan rakyat dan melindunginya untuk menuju Jagadhita (kebahagiaan hidup) dan ketentraman baik jasmani maupun rohani. Tidak lupa juga pemimpin sebagai pencipta dan pengembang untuk  mencari pemimpin-pemimpin baru untuk melanjutkan kepemimpinanya.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai sifat dan kewajiban seorang pemimpin sehingga kita dapat mengambi.
III. kesimpulan:
Bahwa seorang pemimpin tidak boleh lupa akan sifat leluhurnya serta kewajiban  yang begitu mulia yaitu senantiasa berada di bawah, tengah, dan depan karena harus terus menciptakan pemimpin baru untuk melanjutkan tujuan bersama dari seorang pemimpin yaitu kesejateraan bagi semua.
Mari kita sebagai generasi penerus dari leluhur kita untuk tetap melanjutkan dan memperjuangkan tujuannya untuk kesejateraan sebagai kewajiban bersama
IV. Penutup
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua dari penjelasan mengenai kepemimpinan dengan judul “lima sifat serta kewajiban seorng pemimpin menciptakan pemimpin-pemimpin baru”
Demikian yang dapat kami sampaikan terima kasih atas kesempatan yang di berikan akhir kata dengan puja parama santi (USD).
Om Santih, Santih, Santih om
Sumber :
I Nengah Mertha. 2009; ”Menggantang Hidup di Jaman Kali Yuga”, Jl.Sangalangit Penatih Denpasar Timur, Widya Dharma.

Manusia Makhluk Sosial



            Manusia adalah mahluk sosial yang selalu dihadapkan pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan alam dan lingkungannya. Beradaptasi merupakan salah satu bentuk reaksi atas kebutuhan kebersamaan yang dapat berwujud sebagai kesetiakawanan. Salah satu aspek budaya di Indonesia, kesetiakawanan itu dapat tercermin melalui sistem nilai, yaitu :
-       Manusia tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi dikelilingi oleh komitmennya, masyarakat dan alam sekitarnya.
-       Dalam segala aspek kehidupannya, manusia pada hakekatnya tergantung kepada sesamanya.
-       Ia harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan balik dengan sesamanya, tergantung oleh jiwa sama rata-sama rasa.
-       Ia selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat conform, berbuat sama rendah dan bersama dalam komunitas, terdorong oleh jiwa sama tinggi rendahnya (Koentjaraningrat, 2002 : 62)

Sebagai mahluk sosial, manusia tentu tidak dapat hidup sendiri, tanpa bantuan dari orang lain. Oleh karena itu sikap saling menolong dan kesetiakawanan mutlak diperlukan. Hidup manusia selalu membutuhkan bantuan dari sesamanya terutama di dalam masa-masa kesusahan. Konsep ini memberikan suatu landasan yang kokoh bagi rasa keamanan hidup. Konsep kebersamaan juga memberikan kewajiban kepadanya yaitu kewajiban untuk terus-menerus memperhatikan solidaritas sosialnya untuk menjaga keberadaannya. Kebersamaan tersebut di dalam aspek sosial kemasyarakatan oleh umat Hindu di DKI Jakarta dijadikan dasar untuk berpikir teologis bahwa Tuhan pun dalam manifestasiNya adalah kesatuan sosial. Aktivitas  upacara tawur  sebagai prosesi upacara bhuta yadnya disambutnya dengan meriah kehadiran para deva atau Ida Bhattara manifestasi Tuhan dari pura di wilayah Jabodetabek yang bagaikan tamu agung. Keadaan ini memang dijelaskan dalam Samaveda 372 sebagai berikut :

“Samate visva ojasa patim divo
Ya eka id bhur atithjananam
Sa purvyo nutanam ajigosam
Tam vartanot anu vavrta eka it”
Terjemahannya:
Berkumpullah wahai engkau semua, dengan kekuatan jiwa menuju Tuhan Yang Maha Esa, tamu seluruh umat manusia, Yang Abadi yang kini datang, semua jalan menuju kepada-Nya.


Makna kebersamaan atau solidaritas di dalam upacara tawur agung tampak dari persiapan maupun pelaksanaan prosesi upacara sampai dengan ogoh-ogoh ngeruak caru diiringi dengan gong bleganjur serta sorak sorai umat yang begitu meriah sebagai tanda puncak upacara tawur telah dipersembahkan.  Umat Hindu yang lain juga menunjukkan dengan kesungguhan hatinya dengan berdiri dan juga bersorak sorai. Kebersamaan dalam wujud ngayah (melaksanakan tugas-tugas persiapan maupun pelaksanaan) menyukseskan rangkaian upacara tawur agung tersebut sampai selesainya seluruh rangkaian pelaksanaan tersebut. Kebersamaan di dalam ngayah juga dijelaskan di dalam Kitab Suci Rg Veda X. 191.2 sebagai berikut :


“ sam gacchadhvam sam vadadhvam,
Sam vo manamsi janatam,
Deva bhagam yatha purve,
Samjanana upasate

Terjemahannya :
Wahai umat manusia, anda seharusnya bersama-sama, berbicara bersama-sama dan berpikir yang sama, seperti halnya Para Deva (pendahulumu) bersama-sama membagi tugas-tugas mereka, begitulah anda semestinya.


Dari uraian diatas makna kebersamaan juga berarti menumbuhkan hubungan sosial yang berbudaya, artinya adanya suatu keseimbangan antara hubungan yang didasari pada kasih sayang dan hubungan yang berdasarkan pada kepentingan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Smith (dalam koentjaraningrat, 1987 : 67) bahwa selain untuk kepentingan sakral juga digunakan untuk kepentingan soidaritas sesama manusia. Jadi, Kepentingan yang menjadi dasar hubungan sosial itu hendaknya harus bersifat untuk kepentingan umum dan bukanlah untuk kepentingan individu yang tidak berlandaskan pada dharma. Peningkatan hidup rohani maupun jasmani tidak dapat diraih dengan baik tanpa adanya prema dan bhakti. Prema adalah kasih sayang sebagai dasar hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya, sedangkan bhakti adalah landasan hubungan manusia dengan Tuhan.
Dalam berbagai kajian Perbandingan Agama, saya mencoba menelisik sejauh mungkin sikap keberagamaan umat Hindu dapat bersentuhan dengan agama-agama lain. Saya sampai pada satu kesimpulan bahwa Hindu adalah satu-satunya agama yang mampu mencegah dan meminimalkan ketegangan dan konflik antar agama. Dalam konsep agama Hindu, penghargaan terhadap kemajemukan menjadi prioritas utama sebagai pelecut semangat untuk membangun perdamaian dan keharmonisan dengan agama-agama. Tidak heran, bila dalam titik temu agama-agama, Hindu mampu tampil sebagai pelopor gagasan guna memberikan sumbangan pemikiran terhadap tegaknya semangat keberagaman di tengah derasnya arus pertikaian dan konflik antaragama. Dalam konteks sejarah, agama Hindu mampu memberikan sumbangan penting terhadap pengembangan toleransi dan harmonisasi agama dengan menampailkan jargon “penghargaan terhadap kemajemukan. Jargon inilah yang menjadi pegangan bagi umat Hindu untuk terus membangun komunikasi aktif dengan agama-agama lain yang saling berdampingan. Pendek kata, agama Hindu adalah agama yang berani menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang dimanifestasikan sebagai pondasi kesetiakawanan antara umat manusia.
Di tengah momentum Nyepi ini, kita berupaya mengikat tali persaudaraan dan sejauh mungkin menghindari konflik-konflik yang kadangkala terjadi di antara beberapa kelompok etnis maupun agama. Kita perlu belajar lebih jauh tentang sikap permissive umat Hindu yang sangat inklusif menerima kehadiran agama lain di tengah-tengah komunitas mereka. Saya memahami bahwa sikap toleran dan permissive umat Hindu tidak lepas dari doktrin svadharma yang menjadi nilai epistemologi ajaran agama mereka. Toleransi terhadap keanekaragamaan agama Hindu juga dipandang sebagai salah satu dharma yang wajib dijunjung tinggi oleh seluruh komunitas umat Hindu, apalagi bila menyambut Hari Nyepi yang sangat sakral ini.

Sebagai agama yang mengedepankan sikap toleran terhadap agama lain, Hindu ternyata mampu berinteraksi dengan komunitas di luar mereka tanpa terbentur oleh doktrin maupun konsep ajaran yang terdapat di dalamnya. Kendati begitu, interaksi dengan agama lain harus disertai dengan semangat pluralitas dan tetap memantapkan keimanan mereka terhadap sang Brahma.
                  Ada dua model dialog yang dikembangkan umat Hindu dalam melakukan interaksi dengan agama lain di luar komunitas mereka. Pertama, model dialog yang disebut dengan “model menutup perbatasan”. Model dialog ini menunjukkan bahwa seseorang harus bisa memantapkan agamanya sendiri dan tidak mencoba menarik atau ditarik oleh agama-agama lain. Pendek kata, kita harus menghormati hak-hak teritorial orang lain dan pada saat yang sama mengingatkan kita untuk selalu waspada tentang keterbatasan kita. Kedua, model dialog yang kita kenal dengan “bentuk melintas perbatasan”. Model dialog ini memberikan kita kesempatan untuk memajukan dan memperluas dialog antar agama. Hal ini merupakan bentuk yang lebih terbuka dan aktif serta berbeda dengan ciri isolasi yang dominan. Tidak ayal bila model dialog ini bisa menumbuhkan proses idegenisasi (pribumisasi) di mana tradisi Brahma mampu menyerap ke dalam diri manusia.
Pada akhirnya, dua model dialog itu mengajarkan kita pada beberapa pemahaman akan pentingnya sikap toleran dan permissive terhadap agama-agama lain. Model menutup perbatasan (closed-border) memberikan sumbangan berharga karena menetapkan perlunya mengikuti jalan sendiri dan melaksanakan tugas serta kewajiban dengan penuh hikmah. Sementara, model melintas perbatasan (open-border) mengajarkan kita bahwa jika kita tidak melangkah ke luar dari wilayah yang kita miliki, maka kita tidak bisa melakukan suatu dialog agama yang bermakna dan kontekstual.  
Itu maknanya, pengamalan toleransi harus menjadi suatu kesadaran pribadi dan kelompok yang selalu dihabitualisasikan dalam wujud interaksi sosial. Toleran maknanya, bersifat atau bersikap menghargai, membiarkan pendirian, pendapat pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan lain-lain yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Toleransi/toleran dalam pengertian seperti itu terkadang menjadi sesuatu yang sangat berat bagi pribadi-pribadi yang belum menyadarinya. Padahal perkara tersebut bukan mengakibatkan kerugian pribadi, bahkan sebaliknya akan membawa makna besar dalam kehidupan bersama dalam segala bidang, apalagi dalam domain kehidupan beragama. Toleran dalam kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya, dengan eksisnya berbagai agama samawi maupun agama ardli dalam kehidupan umat manusia ini (USD).