Nawa Rasa : Metode Untuk
Menafsirkan Teks Keagamaan
Keadaan
lingkungan dan kondisi itulah maka, muncul emosi dasar (sthayibhava) yang melahirkan rasa berasal dari bahasa sansekerta ras berartibergema, berteriak (Astra,
2001) dalam bahasa Jawa Kuno perasaan, isi, air (Zoetmulder, 1995 : 926). Teori
Rasa ini dikemukankan oleh Muni Bharata dalam kitab Natyasastra yang ditulis pada abad 1-4 Masehi (Suamba, 2005 dalam
Suka Yasa, 2007 : 3). Ada juga yang mengatakan ditulis antara 500 SM hingga 300
Masehi oleh Sage Bharatha, ia berfungsi sebagai panduan yang komprehensif, luas
mencakup semua aspek teater. Menurut Muni Bharata ada 9 emosi
dasar dan 9 rasa yang berkaitan dengan Istadewatanya (Rangacharya, 1999).
Adapun 9 rasa itu (Nawarasa) adalah :
No
|
Sthayibhava
(Emosi
dasar)
|
Rasa
|
Istadewata
|
Warna
|
1.
|
Rati (Cinta)
|
Sranggara (Asmara, Erotis)
|
Wisnu
|
Biru tua
|
2.
|
Hasa (Humor)
|
Hasya (Komik,
lucu)
|
Pramartha
(Ganesha)
|
Putih
|
3.
|
Soka (Sedih)
|
Karuna (Belas kasihan)
|
Yama
|
Putih
keabu-abuan
|
4.
|
Krodha (marah)
|
Raudra (Ganas)
|
Rudra
|
Merah
|
5.
|
Utsaha (Teguh)
|
Wira
(keberanian)
|
Mahendra
|
Kekuning-kuningan
|
6.
|
Bhaya (Takut)
|
Bhayanaka
(Khawatir)
|
Kala
|
Hitam
|
7.
|
Jugupsa (Muak)
|
Bhibatsa
(Ngeri)
|
Mahakala
|
Biru
|
8.
|
Vismaya
(Heran)
|
Adbhuta
(Takjub)
|
Brahma
|
Kuning
|
9.
|
Sama (Tenang)
|
Santa (Damai)
|
Siva
|
Kristal 9
warna
|
Tabel 2.1:
Teori Rasa ( Sumber : Suka Yasa, 2007 (Teori Rasa) : 14.
Hal ini
digunakan untuk mengetahui rasa dari seorang pengarang teks dalam menuliskan karya
sastranya, yang dipahami secara keseluruhan tentang teks tersebut, sehingga
dipahami oleh penafsir. bahwa arah putaran jarum jam disebut arah Daksinayana (dari utara keselatan)
disebut dengan gerak Murti yaitu dari lembut menjadi kasar yang gerakannya
bersifat sentrifugal,dari rasa damai (Siva) menjadi rasa takjub (Brahma) dan
rasa asmara (Visnu); yaitu, Brahma, Rudra, mahakala, kala, Visnu, Yama,
pramatha, mahendra. Dan arah sebaiknya yang berlawanan dengan jarum jam disebut
arah Somya (dari selatan keutara) yang disebut dengan Utarayana, gerakannya dari kasar menjadi lembut yang bersifat
sentripetal. Sehingga rasa yang terjadi adalah rasa khawatir (kala), kembali
menjadi Mahakala, Rudra, Brahma, Mahendra, Pramatha, Yama, Wisnu dan akhirnya
rasa takjub (Brahma) dan rasa Asmara (Visnu) dan kembali menjadi rasa damai
(Siva).
Pola
istadewata dalam teori rasa ini mkerupakan pola yang berjenjang mulai dari pola
eka, rwabhineda, oposisi berpasangan dari sinilah muncul swastika dan menuncak
pada pola astadala. Mulai dari santa rasa muncullah adbhuta (rasa pesona,
takjub) dan sranggara rasa (asmara), sementara hasya rasa (kejenakaan) yang
lahir dari pasangan adbhuta-Sranggara memunculkan pula pasangan bibhatsa (rasa
ngeri). Jika dipolakan terbangunlah pola empat, adbhuta (terpesona) berpasangan
dengan Srnggara (kecintaan) sementara hasya (kejenakaan) berpasangan dengan
bibhatsa (ngeri) dan jika disilangkan terbentuk pola tapak dara (pola empat).
Dengan
mengikuti gerak swastika maka muncul pola astadala yaitu, 1) Sranggara (rasa asmara) dapat berkembang
menjadi karuna (rasa belas kasih), 2)
hasya (kejenakaan) muncul vira (rasa keberanian) 3) adbhuta (rasa takjub) berkembang
menjadi raudra (rasa ganas) 4) bibhatsa
(rasa ngeri) berkembang menjadi bhayanaka
(rasa khawatir).Dengan demikian perkembangan rasa ini tidaklah selalu demikian,
akan tetapi tergantung dari objek dan situasi
yang membangkitkan Sthayibhava (emosi
dasar) yang kemudian memunculkan rasa yang terekspresikan (Yasa,
2007:35-38).
Daftar Pustaka
Kamil, Sukron. 2008. Hermeneutika Sebagai Teori Kritik Sastra Dan
Keagamaan: Perbandingan Dengan Ta’wil. Refleksi Jurnal kajian agama dan
filsafat, ISSN : 0215-6253, Vol X No. 3. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, hal
: 247-266.
Kaelan. 2009. Filsafat Bahasa Semiotika Dan Hemeneutika.
Yogyakarta : Paradigma.
Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat.
Yogyakarta : Paradigma.
Ratna, Nyoman Kutha.
2011. Estetika Sastra Dan Budaya.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Yasa, I Wayan Suka. Teori Rasa : Memahami Taksu, Ekspresi dan
Metodenya. Denpasar : Widhya Dharma berkerjasama dengan Program Magister
Ilmu Agama dan Budaya UNHI.
| |||