MAKNA HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN
DALAM MELAKSANAKAN KARMA KEHIDUPAN
Om awighnamastu namo siddham.
Om swastyastu.
Hari
Raya Galungan dan Kuningan dikenal sebagai hari kemenangan Dharma atas Adharma,
kemenangan kebenaran yaitu sifat Daivi
Sampad, melawan kebatilan atau kejahatan yaitu sifat Asuri Sampad melalui kesadaran jati diri yang hakiki. Hal ini juga
bermakna bahwa umat Hindu di dalam menjalani kehidupannya harus selalu sadar
untuk berbuat kebajikan dan bertindak berdasarkan Dharma, sebagaimana diamanatkan
dalam susastra Veda. Dharma adalah jalan untuk mencapai kehidupan yang damai
sejahtera, mencapai Surga, bahkan pembebasan jiwa dari ikatan karma yang
disebut Moksa.
Di
India, perayaan yang mengandung makna filosofis dan spiritual yang senada
dengan H.R. Galungan dan Kuningan adalah H.R. Sraddha Vijaya Dasami atau Dasara.
Hari raya ini dilaksanakan dua kali setahun,
yaitu pada bulan Kartika (Oktober)
dan bulan Vaisaka (April). Perayaannya
dilaksanakan selama sepuluh hari atau sembilan malam sehingga dikenal sebagai perayaan
Nava Ratri. Di saat itu, dilakukan
pemujaan dan pembacaan kitab suci, dilanjutkan dengan perenungan yang mendalam,
melakukan meditasi untuk menemukan hakikat nilai kehidupan dan jati diri,
sebagai wujud kemenangan Dharma.
Bagaimana dengan perayaan H.R.
Galungan dan Kuningan?
Perayaan
Galungan dan Kuningan juga berjalan selama sepuluh hari namun, terdapat
pengembangan dalam bentuk persiapan lahir dan batin menjelang datangnya hari
raya itu. Kegiatan awal, dimulai pada hari Kamis Wage wuku Sungsang, yang
dikenal dengan hari Sugihan Jawa. Kata jawa
identik dengan istilah jaba, yang
berarti ‘luar dan bersifat fisik’. Kegiatan yang dilakukan pada hari ini adalah
menyucikan segala peralatan dan Pralingga para Dewa sebagai manifestasi
kemahakuasaan Hyang Widhi Wasa, yang menurut kitab Sundarigama disebut: “pasucian Dewa, kalinganya, pamratistha bhatara kabeh”. Pada hari Jumat Kliwon wuku Sungsang disebut Sugihan Bali. Istilah bali (Sanskerta), mengandung makna ‘kekuatan
di dalam diri’. Oleh karena itu, pada hari ini umat Hindu melakukan penyucian
diri (kalinganya, amretistha raga tawulan),
dengan melakukan asuci laksana dan
menjauhkan diri dari kebiasaan yang kurang terpuji. Keesokan harinya, umat
Hindu mempersiapkan diri secara rohani, kemudian di hari Minggu Paing wuku
Dungulan mulai melakukan pengendalian nafsu, menahan emosi, dan mendiamkan
pikiran (anyekung jnana) agar tidak
dirasuki oleh Bhuta-kala.
Mulai
hari Minggu sampai dengan Selasa Wage wuku Dungulan, Sang Kala Tiga, yakni
Bhuta Galungan, Bhuta Dungulan, dan Bhuta Amangku Rat menggoda pikiran dan hati
nurani manusia agar kehilangan kesadaran serta dapat diundukkan olehnya. Upaya
pengendalian nafsu dan mendiamkan
pikiran ini dilanjutkan dengan melaksanakan yoga pada hari Senin Pon
wuku Dungulan, yaitu melakukan pemusatan pikiran dan perenungan mendalam, agar
jiwa tetap teguh, seimbang serta selalu tenang menghadapi segala godaan sifat asura atau vritra. Selanjutnya pada
hari Selasa Wage Dungulan, umat Hindu melaksanakan upacara Mabyakala, yang secara simbolik bermakna menundukkan Bhuta Amangku
Rat dan Kala Tiga lainnya. Demikianlah, keesokan harinya tiba hari suci yang
dinantikan, yaitu H.R. Galungan. Saat ini, sang Jiwa telah tegar dan penuh
keyakinan dalam menegakkan Dharma karena yakin bahwa setiap orang yang
mengamalkan Dharma pasti akan memperoleh perlindungan dari Yang Maha Kuasa. Dalam kitab Manawa Dharmasastra dijelaskan dengan
ungkapan: “Dharma Raksati Raksitah” yang artinya: “Ia yang berpijak
di jalan Dharma, akan dilindungi oleh Dharma itu sendiri”. Dharma itu akan melindungi orang yang mengamalkan Dharma, dan sebaliknya, akan membahayakan serta
menghancurkan siapa pun
yang berani meninggalkanya. Jelasnya,
kita harus senantiasa mengusahakan pelaksanaan Dharma, agar Dharma itu senantiasa melindungi kita.
Umat sedharma yang saya muliakan.
Walau
pun H.R. Galungan telah berlalu, umat Hindu tetap berkewajiban untuk menjaga
kemantapan pikiran dan hatinya dalam mengamalkan Dharma sesuai petunjuk Veda.
Sejak hari Rabu Kliwon wuku Dungulan sampai dengan H.R. Kuningan, pemujaan dan
pelatihan rohani mesti terus dilakukan agar kita benar-benar mencapai
kemenangan, yaitu menang terhadap musuh-musuh yang sesungguhnya ada dalam diri
setiap umat manusia. Jiwa kita harus teguh tak tergoyahkan oleh berbagai
tawaran kehidupan duniawi yang menyimpang dari jalan Dharma, seperti sifat dan
perilaku mengikuti hawa nafsu, tamak, amarah, iri dan dengki, mabuk, serta
kebingungan, bahkan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan, termasuk korupsi
yang kini marak terjadi di mana-mana.
Kemenangan
atas Adharma ini, sesungguhnya kita rayakan pada hari Kuningan, dengan berupaya
secara terus-menerus melenyapkan segala kekotoran pikiran dan kegelapan hati (sapuhakena malaning jnana) dan selalu eling bersandar pada Dharma. Apabila di
India perayaan Dasara menggunakan
ritual anak panah sebagai lambang kemenangan Dharma, maka di Indonesia juga
menggunakan endongan dan anak panah
dari anyaman janur atau ron (daun
aren), melambangkan hal yang sama. Namun, di H.R. Kuningan masih ada satu
sesaji khusus berbentuk Matahari, yang dimaksudkan sebagai simbol Sahasrara Cakra, yang merupakan lambang
pencapaian kesadaran sejati. Manusia yang selalu eling dan mencapai kesadaran sejati niscaya mampu ber-viveka, memilah antara yang baik dan
yang buruk, yang benar dan yang salah, sehingga mereka tidak terseret oleh
sifat-sifat yang bertentangan dengan ajaran Agama. Orang yang telah mencapai
kesadaran sejati, akan selalu memperoleh karunia sifat kasih sayang yang
melimpah dari Hyang Widhi Wasa, diberikan perlindungan dan kesejahteraan dalam
hidupnya.
Prasade sarva duhkhanam, hanirasyo pajayate,
Prasanna cettaso’hyasu, buddhih paryava tisthate
Di dalam jiwa
yang bersih hening, segala derita akan sirna,
Orang yang
jiwanya bersih seperti itu, selalu bersemayam dalam ketenangan.
Demikianlah saudara-saudara.
Betapa
indahnya hidup ini bila jiwa kita selalu bersih, tenang, dan tabah dalam
menghadapi segala cobaan, karena di sana kedamaian dan kebahagiaan pasti akan
bersemi. Oleh karena itu maka makna filosofis dan spiritual yang terkadung di
dalam pelaksanaan H.R. Galungan dan Kuningan janganlah dibiarkan berlalu
selepas perayaannya. Nilai luhur itu hendaknya diaktualisasikan dalam kehidupan
kita sehari-hari agar hidup kita selamat, damai, dan sejahtera selalu. Mari kita jadikan pelaksanaan H.R. Galungan dan Kuningan ini sebagai momentum penyadaran diri. Selanjutnya, aktualisasi diri pasca pelaksanaan H.R. Galungan dan Kuningan kita cerminkan dalam perilaku kita setiap waktu. Bila tidak demikian, bagaimana Dharma dapat melindungi kita? Bagaimana pula kita dapat dikatakan menang melawan Adharma? Yang terjadi tentu sebaliknya, kita akan hancur dan Adharma itulah yang merajalela, karena umat
manusia ke luar dari aturan Dharma.
Sehubungan dengan itu, dalam menjalani karma kehidupan ini setiap orang
harus setia melaksanakan svadharma, yaitu tugas yang menjadi beban
kewajibannya masing-masing, dengan selalu berpijak di jalan Dharma. Di dalam kitab Manu Småti adhyaya
VI. Sloka 92 disebutkan sepuluh sifat yang menunjukkan
moralitas dan keteladanan perilaku untuk menjalani karma kehidupan yang disebut dasa
dharmalaksana, yang berbunyi sebagai berikut:
“Dhåþih kûama damo’steyam, saucam
indriyanigrahah,
Dhirwidyā satyamakrodho, daúakam dharmalakûanam”.
“Teguh hati dalam
tujuan dan pelaksanaan tugas, bersikap sabar,
mampu menasehati diri,
tidak curang, berhati bersih, mengendalikan nafsu indriya,
berani bertanggung jawab, berpengetahuan luas, bersikap jujur, dan tidak pemarah,
ini merupakan
sepuluh hukum perbuatan yang wajib dipatuhi”.
Setiap orang hendaknya mengutamakan keluhuran
budhi nuraninya di dalam menjalankan svadharma atau karma kehidupannya
di dunia ini sehingga menjadi orang baik yang senantiasa mendapat perlindungan
Hyang Widhi Wasa. Na rte srantasya sakhyaya devah (Hyang Widhi Wasa
tidak akan menemani atau mengasihi orang-orang yang jahat). Namun sebaliknya,
Hyang Widhi Wasa akan melindungi orang-orang yang berbudhi mulia. Hal ini
dinyatakan dalam kitab Pancamo Veda adhyaya
IV mantra 8 yang
berbunyi:
Paritranaya sadhunam, Vinasaya ca dushkritam
Dharma
samsthapanarthaya, Sambhavami
yuge-yuge
“Untuk melindungi orang-orang baik
dan untuk memusnahkan orang yang jahat,
serta untuk
menegakkan dharma itu Aku
lahir ke dunia dari masa ke masa.”
Dari mantra tersebut,
dapat kita sarikan
bahwa Hyang Widhi
Wasa akan melindungi
orang-orang baik yang taat mengamalkan Dharma dan selalu menegakan kebenaran di muka bumi ini. Jika kita selalu berpegang teguh pada
Dharma maka berarti
kita berada di jalan
Tuhan dan Dharma akan melindungi kita. Oleh karena itu, mari kita
jalani kehidupan ini dengan karma punya,
yaitu perilaku yang menguntungkan jiwa kita dan menjauhkan diri dari sikap dan
perilaku yang tidak terpuji.
Dalam
pada itu, setiap mat Hindu harus terus mengumandangkan mantra Veda yang
berbunyi:
Asmanvato riyate sam rabhadhvam, utistatha prataratha cetaya,
Atrà jahinam ye asanna seva, Sivam vayam uttaremàbhi
vajan.
Sungai berbatu
mengalir deras, mari kita seberangi hai kawan,
Tinggalkan
mereka yang berperilaku jahat, agar kita memperoleh kekuatan yang berguna.
Sambil
berjuang dalam kehidupan ini di jalan Dharma, mari kita terus berdoa, bersujud,
sembari berserah diri kehadapan Yang Maha Kuasa, agar kita selamat sampai ke
tujuan yang hakiki dari kehidupan ini: moksartham
jagadhitaya.
Tam
eva saranam gaccha, sarva bhavena bharata,
Tat prasadat param
santim, sthanam prapsyasi sasvatam.
Berlindunglah
engkau hanya kepada Dia, dengan seluruh jiwa ragamu, wahai Bharata;
Dengan
restu-Nya, engkau akan mencapai kedamaian tertinggi dan tempat yang
kekal-abadi.
Untuk itu, mari kita rayakan hari suci Galungan dan Kuningan ini, tidak sebatas
pada sisi glamour dan mewahnya upacara saja tetapi, di balik itu kita hayati dan maknai nilai filosofis dan spiritual yang sangat luhur itu. Kita aktualisasikan nilai dan makna hari suci Galungan dan Kuningan itu dengan selalu berpegang teguh
pada etika kehidupan dengan cara mengendarai kereta kebenaran agar. Dengan
demikian, sungai kehidupan yang mengalir deras itu akan berhenti mengalir di
bawah poros rodanya, sebagaimana disabdakan dalam Rg Veda.
A te
kàro srinuvàmà vacàmsi, yayàtha dùràd anasà rathena,
Nite namsai pipyàneva yosà, maryàyeva kanyà sasvacai te. (Rg Veda III.33.10)
Ya penyanyi Veda, kami akan dengar kata-katamu,
karena engkau datang dari jauh dengan kereta kebenaran; Aku akan membungkuk
kepadamu seperti seorang ibu yang menyusui,
dan aku akan menyerah kepadamu seperti seorang
gadis kepada kekasihnya.
Oleh karena itu, mari kita jadikan perayaan Galungan dan Kuningan sebagai momentum penyadaran diri, sehingga kita dapat menegakkan Dharma,
selalu berjalan menggunakan akal sehat dan naluri kebenaran, agar Dharma tetap lestari
di muka bumi ini, Satyam Ewa Jayate, na anritam.
Demikianlah dharmavacana ini saya sampaikan,
semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Untuk mengakhiri, saya sampaikan
sebuah sloka yang tercantum di dalam kitab Canakya Nitisastra adhyaya VIII sloka 13 berikut ini:
Santi
tulyam tapo nasti
na santosat
param sukham,
Na
trisnayah
paro vyadhir
na ca dharmo daya samah
“Tiada pertapaan yang menyamai
pikiran damai, tiada kebahagiaan sejati yang menyamai kepuasan hati, akan
tetapi tiada penyakit
yang melebihi kehausan nafsu, dan tiada kebajikan yang menyamai cinta-kasih”.
Saudara-saudara umat sedharma,
dalam menyambut H.R. Galungan, mari kita
diamkan pikiran kita dari berbagai keinginan dan nafsu agar jiwa kita selalu
stabil sehingga mampu berbuat kebajikan dalam menjalani karma kehidupan di
dunia ini dengan tulus serta penuh cinta kasih. Hidup dengan cinta kasih,
berarti Anda menjalani karma kehidupan di jalan Dharma! Om
siddhirastu tadastvastu svaha. Om santih santih santih.
Jakarta, 3 Mei
2020
USD