Minggu, 03 Mei 2020

Pemaknaan Galungan dan Kuningan


MAKNA HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN
DALAM MELAKSANAKAN KARMA KEHIDUPAN


Om awighnamastu namo siddham.
Om swastyastu.


Hari Raya Galungan dan Kuningan dikenal sebagai hari kemenangan Dharma atas Adharma, kemenangan kebenaran yaitu sifat Daivi Sampad, melawan kebatilan atau kejahatan yaitu sifat Asuri Sampad melalui kesadaran jati diri yang hakiki. Hal ini juga bermakna bahwa umat Hindu di dalam menjalani kehidupannya harus selalu sadar untuk berbuat kebajikan dan bertindak berdasarkan Dharma, sebagaimana diamanatkan dalam susastra Veda. Dharma adalah jalan untuk mencapai kehidupan yang damai sejahtera, mencapai Surga, bahkan pembebasan jiwa dari ikatan karma yang disebut Moksa.
Di India, perayaan yang mengandung makna filosofis dan spiritual yang senada dengan H.R. Galungan dan Kuningan adalah H.R. Sraddha Vijaya Dasami atau Dasara. Hari raya ini  dilaksanakan dua kali setahun, yaitu pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Vaisaka (April). Perayaannya dilaksanakan selama sepuluh hari atau sembilan malam sehingga dikenal sebagai perayaan Nava Ratri. Di saat itu, dilakukan pemujaan dan pembacaan kitab suci, dilanjutkan dengan perenungan yang mendalam, melakukan meditasi untuk menemukan hakikat nilai kehidupan dan jati diri, sebagai wujud kemenangan Dharma.
Bagaimana dengan perayaan H.R. Galungan dan Kuningan?
Perayaan Galungan dan Kuningan juga berjalan selama sepuluh hari namun, terdapat pengembangan dalam bentuk persiapan lahir dan batin menjelang datangnya hari raya itu. Kegiatan awal, dimulai pada hari Kamis Wage wuku Sungsang, yang dikenal dengan hari Sugihan Jawa. Kata jawa identik dengan istilah jaba, yang berarti ‘luar dan bersifat fisik’. Kegiatan yang dilakukan pada hari ini adalah menyucikan segala peralatan dan Pralingga para Dewa sebagai manifestasi kemahakuasaan Hyang Widhi Wasa, yang menurut kitab Sundarigama disebut: “pasucian Dewa, kalinganya, pamratistha bhatara kabeh”.  Pada hari Jumat Kliwon wuku Sungsang disebut Sugihan Bali. Istilah bali (Sanskerta), mengandung makna ‘kekuatan di dalam diri’. Oleh karena itu, pada hari ini umat Hindu melakukan penyucian diri (kalinganya, amretistha raga tawulan), dengan melakukan asuci laksana dan menjauhkan diri dari kebiasaan yang kurang terpuji. Keesokan harinya, umat Hindu mempersiapkan diri secara rohani, kemudian di hari Minggu Paing wuku Dungulan mulai melakukan pengendalian nafsu, menahan emosi, dan mendiamkan pikiran (anyekung jnana) agar tidak dirasuki oleh Bhuta-kala.
Mulai hari Minggu sampai dengan Selasa Wage wuku Dungulan, Sang Kala Tiga, yakni Bhuta Galungan, Bhuta Dungulan, dan Bhuta Amangku Rat menggoda pikiran dan hati nurani manusia agar kehilangan kesadaran serta dapat diundukkan olehnya. Upaya pengendalian nafsu dan mendiamkan  pikiran ini dilanjutkan dengan melaksanakan yoga pada hari Senin Pon wuku Dungulan, yaitu melakukan pemusatan pikiran dan perenungan mendalam, agar jiwa tetap teguh, seimbang serta selalu tenang menghadapi segala godaan sifat asura atau vritra.  Selanjutnya pada hari Selasa Wage Dungulan, umat Hindu melaksanakan upacara Mabyakala, yang secara simbolik bermakna menundukkan Bhuta Amangku Rat dan Kala Tiga lainnya. Demikianlah, keesokan harinya tiba hari suci yang dinantikan, yaitu H.R. Galungan. Saat ini, sang Jiwa telah tegar dan penuh keyakinan dalam menegakkan Dharma karena yakin bahwa setiap orang yang mengamalkan Dharma pasti akan memperoleh perlindungan dari Yang Maha Kuasa. Dalam kitab Manawa Dharmasastra dijelaskan dengan ungkapan:  Dharma Raksati Raksitah” yang artinya: “Ia yang berpijak di jalan Dharma, akan dilindungi oleh Dharma itu sendiri”. Dharma itu akan melindungi orang yang mengamalkan Dharma, dan sebaliknya, akan membahayakan serta menghancurkan siapa pun yang berani meninggalkanya. Jelasnya, kita harus senantiasa mengusahakan pelaksanaan Dharma, agar Dharma itu senantiasa melindungi kita.
Umat sedharma yang saya muliakan.
Walau pun H.R. Galungan telah berlalu, umat Hindu tetap berkewajiban untuk menjaga kemantapan pikiran dan hatinya dalam mengamalkan Dharma sesuai petunjuk Veda. Sejak hari Rabu Kliwon wuku Dungulan sampai dengan H.R. Kuningan, pemujaan dan pelatihan rohani mesti terus dilakukan agar kita benar-benar mencapai kemenangan, yaitu menang terhadap musuh-musuh yang sesungguhnya ada dalam diri setiap umat manusia. Jiwa kita harus teguh tak tergoyahkan oleh berbagai tawaran kehidupan duniawi yang menyimpang dari jalan Dharma, seperti sifat dan perilaku mengikuti hawa nafsu, tamak, amarah, iri dan dengki, mabuk, serta kebingungan, bahkan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan, termasuk korupsi yang kini marak terjadi di mana-mana.
Kemenangan atas Adharma ini, sesungguhnya kita rayakan pada hari Kuningan, dengan berupaya secara terus-menerus melenyapkan segala kekotoran pikiran dan kegelapan hati (sapuhakena malaning jnana) dan selalu eling bersandar pada Dharma. Apabila di India perayaan Dasara menggunakan ritual anak panah sebagai lambang kemenangan Dharma, maka di Indonesia juga menggunakan endongan dan anak panah dari anyaman janur atau ron (daun aren), melambangkan hal yang sama. Namun, di H.R. Kuningan masih ada satu sesaji khusus berbentuk Matahari, yang dimaksudkan sebagai simbol Sahasrara Cakra, yang merupakan lambang pencapaian kesadaran sejati. Manusia yang selalu eling dan mencapai kesadaran sejati niscaya mampu ber-viveka, memilah antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, sehingga mereka tidak terseret oleh sifat-sifat yang bertentangan dengan ajaran Agama. Orang yang telah mencapai kesadaran sejati, akan selalu memperoleh karunia sifat kasih sayang yang melimpah dari Hyang Widhi Wasa, diberikan perlindungan dan kesejahteraan dalam hidupnya.

Prasade sarva duhkhanam, hanirasyo pajayate,
Prasanna cettaso’hyasu, buddhih paryava tisthate

Di dalam jiwa yang bersih hening, segala derita akan sirna,
Orang yang jiwanya bersih seperti itu, selalu bersemayam dalam ketenangan.

Demikianlah saudara-saudara.
Betapa indahnya hidup ini bila jiwa kita selalu bersih, tenang, dan tabah dalam menghadapi segala cobaan, karena di sana kedamaian dan kebahagiaan pasti akan bersemi. Oleh karena itu maka makna filosofis dan spiritual yang terkadung di dalam pelaksanaan H.R. Galungan dan Kuningan janganlah dibiarkan berlalu selepas perayaannya. Nilai luhur itu hendaknya diaktualisasikan dalam kehidupan kita sehari-hari agar hidup kita selamat, damai, dan sejahtera selalu. Mari kita jadikan pelaksanaan H.R. Galungan dan Kuningan ini sebagai momentum penyadaran diri. Selanjutnya, aktualisasi diri pasca pelaksanaan H.R. Galungan dan Kuningan kita cerminkan  dalam perilaku kita setiap waktu. Bila tidak demikian, bagaimana Dharma dapat melindungi kita? Bagaimana pula kita dapat dikatakan menang melawan Adharma?  Yang terjadi tentu sebaliknya, kita akan hancur dan Adharma itulah yang merajalela, karena umat manusia ke luar dari aturan Dharma.
Sehubungan dengan itu, dalam menjalani karma kehidupan ini setiap orang harus setia melaksanakan svadharma, yaitu tugas yang menjadi beban kewajibannya masing-masing, dengan selalu berpijak di jalan Dharma. Di dalam kitab Manu Småti adhyaya VI. Sloka 92 disebutkan sepuluh sifat yang menunjukkan moralitas dan keteladanan perilaku untuk menjalani karma kehidupan yang disebut dasa dharmalaksana, yang berbunyi sebagai berikut:
Dhåþih kûama damo’steyam, saucam indriyanigrahah,
Dhirwidyā satyamakrodho, daúakam dharmalakûanam.

“Teguh hati dalam tujuan dan pelaksanaan tugas, bersikap sabar,
mampu menasehati diri, tidak curang, berhati bersih, mengendalikan nafsu indriya,
berani bertanggung jawab, berpengetahuan luas,  bersikap jujur, dan tidak pemarah,
ini merupakan sepuluh hukum perbuatan yang wajib dipatuhi”.

Setiap orang hendaknya mengutamakan keluhuran budhi nuraninya di dalam menjalankan svadharma atau karma kehidupannya di dunia ini sehingga menjadi orang baik yang senantiasa mendapat perlindungan Hyang Widhi Wasa. Na rte srantasya sakhyaya devah (Hyang Widhi Wasa tidak akan menemani atau mengasihi orang-orang yang jahat). Namun sebaliknya, Hyang Widhi Wasa akan melindungi orang-orang yang berbudhi mulia. Hal ini dinyatakan dalam kitab Pancamo Veda adhyaya IV mantra 8 yang berbunyi:
Paritranaya sadhunam, Vinasaya ca dushkritam
Dharma samsthapanarthaya, Sambhavami yuge-yuge
“Untuk melindungi orang-orang baik dan untuk memusnahkan orang yang jahat,
 serta untuk menegakkan dharma itu Aku lahir ke dunia dari masa ke masa.”
Dari mantra tersebut, dapat kita sarikan bahwa Hyang Widhi Wasa akan melindungi orang-orang baik yang taat mengamalkan Dharma dan selalu menegakan kebenaran di muka bumi ini. Jika kita selalu berpegang teguh pada Dharma maka berarti kita berada di jalan Tuhan dan Dharma akan melindungi kita. Oleh karena itu, mari kita jalani kehidupan ini dengan karma punya, yaitu perilaku yang menguntungkan jiwa kita dan menjauhkan diri dari sikap dan perilaku yang tidak terpuji.
Dalam pada itu, setiap mat Hindu harus terus mengumandangkan mantra Veda yang berbunyi:
Asmanvato riyate sam rabhadhvam, utistatha prataratha cetaya,
Atrà jahinam ye asanna seva, Sivam vayam uttaremàbhi vajan.
Sungai berbatu mengalir deras, mari kita seberangi hai kawan,
Tinggalkan mereka yang berperilaku jahat, agar kita memperoleh kekuatan yang berguna.
Sambil berjuang dalam kehidupan ini di jalan Dharma, mari kita terus berdoa, bersujud, sembari berserah diri kehadapan Yang Maha Kuasa, agar kita selamat sampai ke tujuan yang hakiki dari kehidupan ini: moksartham jagadhitaya.
Tam eva saranam gaccha, sarva bhavena bharata,
Tat prasadat param santim, sthanam prapsyasi sasvatam.
Berlindunglah engkau hanya kepada Dia, dengan seluruh jiwa ragamu, wahai  Bharata;
Dengan restu-Nya, engkau akan mencapai kedamaian tertinggi dan tempat yang kekal-abadi.

Untuk itu, mari kita rayakan hari suci Galungan dan Kuningan ini, tidak sebatas pada sisi glamour dan mewahnya upacara saja tetapi, di balik itu kita hayati dan maknai nilai filosofis dan spiritual yang sangat luhur itu. Kita aktualisasikan nilai dan makna hari suci Galungan dan Kuningan itu dengan selalu berpegang teguh pada etika kehidupan dengan cara mengendarai kereta kebenaran agar. Dengan demikian, sungai kehidupan yang mengalir deras itu akan berhenti mengalir di bawah poros rodanya, sebagaimana disabdakan dalam Rg Veda.
A te kàro srinuvàmà vacàmsi, yayàtha dùràd anasà rathena,
Nite namsai pipyàneva yosà, maryàyeva kanyà sasvacai te. (Rg Veda III.33.10)
Ya penyanyi Veda, kami akan dengar kata-katamu, karena engkau datang dari jauh dengan kereta kebenaran; Aku akan membungkuk kepadamu seperti seorang ibu yang menyusui,
dan aku akan menyerah kepadamu seperti seorang gadis kepada kekasihnya.
Oleh karena itu, mari kita jadikan perayaan Galungan dan Kuningan sebagai momentum penyadaran diri, sehingga kita dapat menegakkan Dharma, selalu berjalan menggunakan akal sehat dan naluri kebenaran, agar Dharma tetap lestari di muka bumi ini, Satyam Ewa Jayate, na anritam.
Demikianlah dharmavacana ini saya sampaikan, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Untuk mengakhiri, saya sampaikan sebuah sloka yang tercantum di dalam kitab Canakya Nitisastra adhyaya VIII sloka 13 berikut ini:
 Santi tulyam tapo nasti na santosat param sukham,
Na trisnayah paro vyadhir na ca dharmo daya samah

“Tiada pertapaan yang menyamai pikiran damai, tiada kebahagiaan sejati yang menyamai kepuasan hati, akan tetapi tiada penyakit yang melebihi kehausan nafsu, dan tiada kebajikan yang menyamai cinta-kasih”.

Saudara-saudara umat sedharma, dalam menyambut  H.R. Galungan, mari kita diamkan pikiran kita dari berbagai keinginan dan nafsu agar jiwa kita selalu stabil sehingga mampu berbuat kebajikan dalam menjalani karma kehidupan di dunia ini dengan tulus serta penuh cinta kasih. Hidup dengan cinta kasih, berarti Anda menjalani karma kehidupan di jalan Dharma! Om siddhirastu tadastvastu svaha. Om santih santih santih.                  





                                                                                                            Jakarta, 3 Mei 2020



                                                                                                              USD













 

Kamis, 16 Februari 2017

Metode Untuk Menafsirkan Teks Keagamaan Hindu



Nawa Rasa : Metode Untuk Menafsirkan Teks Keagamaan
Keadaan lingkungan dan kondisi itulah maka, muncul emosi dasar (sthayibhava) yang melahirkan rasa berasal dari bahasa sansekerta ras berartibergema, berteriak (Astra, 2001) dalam bahasa Jawa Kuno perasaan, isi, air (Zoetmulder, 1995 : 926). Teori Rasa ini dikemukankan oleh Muni Bharata dalam kitab Natyasastra yang ditulis pada abad 1-4 Masehi (Suamba, 2005 dalam Suka Yasa, 2007 : 3). Ada juga yang mengatakan ditulis antara 500 SM hingga 300 Masehi oleh Sage Bharatha, ia berfungsi sebagai panduan yang komprehensif, luas mencakup semua aspek teater. Menurut Muni Bharata ada 9 emosi dasar dan 9 rasa yang berkaitan dengan Istadewatanya (Rangacharya, 1999). Adapun 9 rasa itu (Nawarasa) adalah :

No
Sthayibhava
(Emosi dasar)
Rasa
Istadewata
Warna
1.
Rati (Cinta)
Sranggara (Asmara, Erotis)
Wisnu
Biru tua
2.
Hasa (Humor)
Hasya (Komik, lucu)
Pramartha (Ganesha)
Putih
3.
Soka (Sedih)
Karuna (Belas kasihan)
Yama
Putih keabu-abuan
4.
Krodha (marah)
Raudra (Ganas)
Rudra
Merah
5.
Utsaha (Teguh)
Wira (keberanian)
Mahendra
Kekuning-kuningan
6.
Bhaya (Takut)
Bhayanaka (Khawatir)
Kala
Hitam
7.
Jugupsa (Muak)
Bhibatsa (Ngeri)
Mahakala
Biru
8.
Vismaya (Heran)
Adbhuta (Takjub)
Brahma
Kuning
9.
Sama (Tenang)
Santa (Damai)
Siva
Kristal 9 warna

Tabel 2.1: Teori Rasa ( Sumber : Suka Yasa, 2007 (Teori Rasa) : 14.
Hal ini digunakan untuk mengetahui rasa dari seorang pengarang teks dalam menuliskan karya sastranya, yang dipahami secara keseluruhan tentang teks tersebut, sehingga dipahami oleh penafsir.  bahwa arah putaran jarum jam disebut arah Daksinayana (dari utara keselatan) disebut dengan gerak Murti yaitu dari lembut menjadi kasar yang gerakannya bersifat sentrifugal,dari rasa damai (Siva) menjadi rasa takjub (Brahma) dan rasa asmara (Visnu); yaitu, Brahma, Rudra, mahakala, kala, Visnu, Yama, pramatha, mahendra. Dan arah sebaiknya yang berlawanan dengan jarum jam disebut arah Somya (dari selatan keutara) yang disebut dengan Utarayana, gerakannya dari kasar menjadi lembut yang bersifat sentripetal. Sehingga rasa yang terjadi adalah rasa khawatir (kala), kembali menjadi Mahakala, Rudra, Brahma, Mahendra, Pramatha, Yama, Wisnu dan akhirnya rasa takjub (Brahma) dan rasa Asmara (Visnu) dan kembali menjadi rasa damai (Siva).
Pola istadewata dalam teori rasa ini mkerupakan pola yang berjenjang mulai dari pola eka, rwabhineda, oposisi berpasangan dari sinilah muncul swastika dan menuncak pada pola astadala. Mulai dari santa rasa muncullah adbhuta (rasa pesona, takjub) dan sranggara rasa (asmara), sementara hasya rasa (kejenakaan) yang lahir dari pasangan adbhuta-Sranggara memunculkan pula pasangan bibhatsa (rasa ngeri). Jika dipolakan terbangunlah pola empat, adbhuta (terpesona) berpasangan dengan Srnggara (kecintaan) sementara hasya (kejenakaan) berpasangan dengan bibhatsa (ngeri) dan jika disilangkan terbentuk pola tapak dara (pola empat).

 Dengan mengikuti gerak swastika maka muncul pola astadala yaitu, 1) Sranggara (rasa asmara) dapat berkembang menjadi karuna (rasa belas kasih), 2) hasya (kejenakaan) muncul vira (rasa keberanian) 3) adbhuta (rasa takjub) berkembang menjadi  raudra (rasa ganas) 4) bibhatsa (rasa ngeri) berkembang menjadi bhayanaka (rasa khawatir).Dengan demikian perkembangan rasa ini tidaklah selalu demikian, akan tetapi tergantung dari objek dan situasi  yang membangkitkan Sthayibhava (emosi dasar) yang kemudian memunculkan rasa yang terekspresikan (Yasa, 2007:35-38). 





Daftar Pustaka
Kamil, Sukron. 2008. Hermeneutika Sebagai Teori Kritik Sastra Dan Keagamaan: Perbandingan Dengan Ta’wil. Refleksi Jurnal kajian agama dan filsafat, ISSN : 0215-6253, Vol X No. 3. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, hal : 247-266.
Kaelan. 2009. Filsafat Bahasa Semiotika Dan Hemeneutika. Yogyakarta : Paradigma.
Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta : Paradigma.
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Estetika Sastra Dan Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Yasa, I Wayan Suka. Teori Rasa : Memahami Taksu, Ekspresi dan Metodenya. Denpasar : Widhya Dharma berkerjasama dengan Program Magister Ilmu Agama dan Budaya UNHI.