Manusia adalah
mahluk sosial yang selalu dihadapkan pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan
alam dan lingkungannya. Beradaptasi merupakan salah satu bentuk reaksi atas
kebutuhan kebersamaan yang dapat berwujud sebagai kesetiakawanan. Salah satu
aspek budaya di Indonesia, kesetiakawanan itu dapat tercermin melalui sistem
nilai, yaitu :
-
Manusia
tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi dikelilingi oleh komitmennya,
masyarakat dan alam sekitarnya.
-
Dalam
segala aspek kehidupannya, manusia pada hakekatnya tergantung kepada sesamanya.
-
Ia harus
selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan balik dengan
sesamanya, tergantung oleh jiwa sama rata-sama rasa.
-
Ia selalu
berusaha untuk sedapat mungkin bersifat conform, berbuat sama rendah dan
bersama dalam komunitas, terdorong oleh jiwa sama tinggi rendahnya
(Koentjaraningrat, 2002 : 62)
Sebagai
mahluk sosial, manusia tentu tidak dapat hidup sendiri, tanpa bantuan dari
orang lain. Oleh karena itu sikap saling menolong dan kesetiakawanan mutlak
diperlukan. Hidup manusia selalu membutuhkan bantuan dari sesamanya terutama di
dalam masa-masa kesusahan. Konsep ini memberikan suatu landasan yang kokoh bagi
rasa keamanan hidup. Konsep kebersamaan juga memberikan kewajiban kepadanya
yaitu kewajiban untuk terus-menerus memperhatikan solidaritas sosialnya untuk
menjaga keberadaannya. Kebersamaan tersebut di dalam aspek sosial
kemasyarakatan oleh umat Hindu di DKI Jakarta dijadikan dasar untuk berpikir
teologis bahwa Tuhan pun dalam manifestasiNya adalah kesatuan sosial.
Aktivitas upacara tawur sebagai prosesi
upacara bhuta yadnya disambutnya
dengan meriah kehadiran para deva atau Ida Bhattara manifestasi Tuhan dari pura
di wilayah Jabodetabek yang bagaikan tamu agung. Keadaan ini memang dijelaskan dalam
Samaveda 372 sebagai berikut :
“Samate visva ojasa patim
divo
Ya eka id bhur atithjananam
Sa purvyo nutanam ajigosam
Tam vartanot anu vavrta eka
it”
Terjemahannya:
Berkumpullah wahai engkau semua, dengan kekuatan jiwa menuju Tuhan
Yang Maha Esa, tamu seluruh umat manusia, Yang Abadi yang kini datang, semua
jalan menuju kepada-Nya.
Makna
kebersamaan atau solidaritas di dalam upacara tawur agung tampak dari persiapan
maupun pelaksanaan prosesi upacara sampai dengan ogoh-ogoh ngeruak caru diiringi
dengan gong bleganjur serta sorak
sorai umat yang begitu meriah sebagai tanda puncak upacara tawur telah dipersembahkan.
Umat Hindu yang lain juga menunjukkan dengan kesungguhan hatinya dengan
berdiri dan juga bersorak sorai. Kebersamaan dalam wujud ngayah (melaksanakan tugas-tugas persiapan maupun pelaksanaan)
menyukseskan rangkaian upacara tawur agung tersebut sampai selesainya seluruh
rangkaian pelaksanaan tersebut. Kebersamaan di dalam ngayah juga dijelaskan di dalam Kitab Suci Rg Veda X. 191.2 sebagai
berikut :
“ sam gacchadhvam sam
vadadhvam,
Sam vo manamsi janatam,
Deva bhagam yatha purve,
Samjanana upasate”
Terjemahannya :
Wahai umat manusia, anda seharusnya bersama-sama, berbicara
bersama-sama dan berpikir yang sama, seperti halnya Para Deva (pendahulumu)
bersama-sama membagi tugas-tugas mereka, begitulah anda semestinya.
Dari uraian diatas
makna kebersamaan juga berarti menumbuhkan hubungan sosial yang berbudaya,
artinya adanya suatu keseimbangan antara hubungan yang didasari pada kasih
sayang dan hubungan yang berdasarkan pada kepentingan. Hal ini sejalan dengan
pemikiran Smith (dalam koentjaraningrat, 1987 : 67) bahwa selain untuk
kepentingan sakral juga digunakan untuk kepentingan soidaritas sesama manusia.
Jadi, Kepentingan yang menjadi dasar hubungan sosial itu hendaknya harus
bersifat untuk kepentingan umum dan bukanlah untuk kepentingan individu yang
tidak berlandaskan pada dharma.
Peningkatan hidup rohani maupun jasmani tidak dapat diraih dengan baik tanpa
adanya prema dan bhakti. Prema adalah kasih sayang sebagai dasar hubungan antar
manusia dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya, sedangkan bhakti adalah
landasan hubungan manusia dengan Tuhan.
Dalam berbagai
kajian Perbandingan Agama, saya mencoba menelisik sejauh mungkin sikap keberagamaan
umat Hindu dapat bersentuhan dengan agama-agama lain. Saya sampai pada satu
kesimpulan bahwa Hindu adalah satu-satunya agama yang mampu mencegah dan
meminimalkan ketegangan dan konflik antar agama. Dalam konsep agama Hindu,
penghargaan terhadap kemajemukan menjadi prioritas utama sebagai pelecut
semangat untuk membangun perdamaian dan keharmonisan dengan agama-agama. Tidak
heran, bila dalam titik temu agama-agama, Hindu mampu tampil sebagai pelopor
gagasan guna memberikan sumbangan pemikiran terhadap tegaknya semangat
keberagaman di tengah derasnya arus pertikaian dan konflik antaragama. Dalam
konteks sejarah, agama Hindu mampu memberikan sumbangan penting terhadap
pengembangan toleransi dan harmonisasi agama dengan menampailkan jargon
“penghargaan terhadap kemajemukan. Jargon inilah yang menjadi pegangan bagi
umat Hindu untuk terus membangun komunikasi aktif dengan agama-agama lain yang
saling berdampingan. Pendek kata, agama Hindu adalah agama yang berani
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang dimanifestasikan sebagai pondasi
kesetiakawanan antara umat manusia.
Di tengah
momentum Nyepi ini, kita berupaya mengikat tali persaudaraan dan sejauh mungkin
menghindari konflik-konflik yang kadangkala terjadi di antara beberapa kelompok
etnis maupun agama. Kita perlu belajar lebih jauh tentang sikap permissive umat
Hindu yang sangat inklusif menerima kehadiran agama lain di tengah-tengah
komunitas mereka. Saya memahami bahwa sikap toleran dan permissive umat Hindu
tidak lepas dari doktrin svadharma yang menjadi nilai epistemologi ajaran agama
mereka. Toleransi terhadap keanekaragamaan agama Hindu juga dipandang sebagai
salah satu dharma yang wajib dijunjung tinggi oleh seluruh komunitas umat
Hindu, apalagi bila menyambut Hari Nyepi yang sangat sakral ini.
Sebagai agama yang mengedepankan sikap toleran terhadap agama lain, Hindu ternyata mampu berinteraksi dengan komunitas di luar mereka tanpa terbentur oleh doktrin maupun konsep ajaran yang terdapat di dalamnya. Kendati begitu, interaksi dengan agama lain harus disertai dengan semangat pluralitas dan tetap memantapkan keimanan mereka terhadap sang Brahma.
Ada dua model dialog yang dikembangkan umat Hindu dalam melakukan interaksi dengan agama lain di luar komunitas mereka. Pertama, model dialog yang disebut dengan “model menutup perbatasan”. Model dialog ini menunjukkan bahwa seseorang harus bisa memantapkan agamanya sendiri dan tidak mencoba menarik atau ditarik oleh agama-agama lain. Pendek kata, kita harus menghormati hak-hak teritorial orang lain dan pada saat yang sama mengingatkan kita untuk selalu waspada tentang keterbatasan kita. Kedua, model dialog yang kita kenal dengan “bentuk melintas perbatasan”. Model dialog ini memberikan kita kesempatan untuk memajukan dan memperluas dialog antar agama. Hal ini merupakan bentuk yang lebih terbuka dan aktif serta berbeda dengan ciri isolasi yang dominan. Tidak ayal bila model dialog ini bisa menumbuhkan proses idegenisasi (pribumisasi) di mana tradisi Brahma mampu menyerap ke dalam diri manusia.
Sebagai agama yang mengedepankan sikap toleran terhadap agama lain, Hindu ternyata mampu berinteraksi dengan komunitas di luar mereka tanpa terbentur oleh doktrin maupun konsep ajaran yang terdapat di dalamnya. Kendati begitu, interaksi dengan agama lain harus disertai dengan semangat pluralitas dan tetap memantapkan keimanan mereka terhadap sang Brahma.
Ada dua model dialog yang dikembangkan umat Hindu dalam melakukan interaksi dengan agama lain di luar komunitas mereka. Pertama, model dialog yang disebut dengan “model menutup perbatasan”. Model dialog ini menunjukkan bahwa seseorang harus bisa memantapkan agamanya sendiri dan tidak mencoba menarik atau ditarik oleh agama-agama lain. Pendek kata, kita harus menghormati hak-hak teritorial orang lain dan pada saat yang sama mengingatkan kita untuk selalu waspada tentang keterbatasan kita. Kedua, model dialog yang kita kenal dengan “bentuk melintas perbatasan”. Model dialog ini memberikan kita kesempatan untuk memajukan dan memperluas dialog antar agama. Hal ini merupakan bentuk yang lebih terbuka dan aktif serta berbeda dengan ciri isolasi yang dominan. Tidak ayal bila model dialog ini bisa menumbuhkan proses idegenisasi (pribumisasi) di mana tradisi Brahma mampu menyerap ke dalam diri manusia.
Pada akhirnya,
dua model dialog itu mengajarkan kita pada beberapa pemahaman akan pentingnya
sikap toleran dan permissive terhadap agama-agama lain. Model menutup
perbatasan (closed-border) memberikan sumbangan berharga karena menetapkan
perlunya mengikuti jalan sendiri dan melaksanakan tugas serta kewajiban dengan
penuh hikmah. Sementara, model melintas perbatasan (open-border) mengajarkan kita bahwa jika kita tidak melangkah ke
luar dari wilayah yang kita miliki, maka kita tidak bisa melakukan suatu dialog
agama yang bermakna dan kontekstual.
Itu maknanya, pengamalan toleransi harus
menjadi suatu kesadaran pribadi dan kelompok yang selalu dihabitualisasikan
dalam wujud interaksi sosial. Toleran maknanya, bersifat atau bersikap
menghargai, membiarkan pendirian, pendapat pandangan, kepercayaan, kebiasaan,
kelakuan, dan lain-lain yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian
sendiri. Toleransi/toleran dalam pengertian seperti itu terkadang menjadi
sesuatu yang sangat berat bagi pribadi-pribadi yang belum menyadarinya. Padahal
perkara tersebut bukan mengakibatkan kerugian pribadi, bahkan sebaliknya akan
membawa makna besar dalam kehidupan bersama dalam segala bidang, apalagi dalam
domain kehidupan beragama. Toleran dalam kehidupan beragama menjadi sangat
mutlak adanya, dengan eksisnya berbagai agama samawi maupun agama ardli dalam
kehidupan umat manusia ini (USD).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar